Pages

Senin

Usaha Perdamaian dan Agresi Militer Belanda


Perjanjian Renville
         Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan agar pihak Indonesia dan Belanda menghentikan tembak-menembak. Akhirnya pada tanggal 4 Agustus 1947, Belanda mengumumkan gencatan senjata. Gencatan senjata adalah penghentian tembak-menembak di antara pihak-pihak yang berperang.


Pada 11 Agustus 1947 pemerintah RI yang diwakili oleh Sutan Syahrir dan H. Agus Salim hadir dalam Dewan Keamanan PBB. Perjuangan diplomasi di PBB ini membawa hasil. Kemudian PBB membentuk "Komisi Tiga Negara" (KTN) yang beranggotakan Australia, Belgia dan Amerika Serikat. Tugas KTN adalah menghentikan sengketa RI-Belanda.
Indonesia diwakili oleh Australia, Belanda diwakili oleh Belgia, dan Amerika Serikat sebagai penengah. Perundingan dimulai 8 Desember 1948 di atas kapal Amerika Serikat "USS Renville" yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Dalam perundingan itu Negara Indonesia, Belanda, dan masing-masing anggota KTN diwakili oleh sebuah delegasi.

1. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin.

2. Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

3. Delegasi Australia dipimpin oleh Richard C. Kirby.

4. Delegasi Belgia dipimpin oleh Paul van Zeeland.

5. Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.

Pada 17 Januari 1948, kedua pihak kembali ke atas kapal untuk menandatangani hasil perundingan. Hasil perundingan itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Renville. Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia karena wilayahnya makin sempit.

Isi Perjanjian Renville adalah sebagai berikut.

a. Belanda hanya mengakui wilayah RI atas Jawa Tengah, Jogjakarta, sebagian kecil Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra.

b. Tentara Republik Indonesia (TRI) harus ditarik mundur dari daerah-daerah yang diduduki Belanda.

dibawah ini merupakan peta Indonesia, kalian bisa memilih berdasarkan gambar wilayah Indonesia hasil perjanjian renville. klik pada gambar untuk memperbesar tampilan gambar peta.
PETA INDONESIA

Keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia ternyata tidak pernah berhenti. Pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda mengumumkan tidak terikat lagi pada isi Perjanjian Renville. Dan tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan atas wilayah RI. Serangan ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Serangan dimulai dengan membom lapangan terbang Maguwo, Jogjakarta. Dalam waktu singkat ibu kota RI Jogjakarta dapat dikuasai Belanda.

Agresi Militer Belanda II



Pada tanggal 19 Desember 1948, jam 06.00 pagi, agresi militer kedua dilancarkan oleh Belanda. Serangan langsung ditujukan ke ibu kota RI, Yogyakarta. Lapangan Terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta. Dalam Agresi Militer kedua, pasukan Belanda menahan Presiden Soekarno, Wakil Presiden M. Hatta, dan beberapa pejabat tinggi negara dan diasingkan ke Pulau Bangka.

Pasukan Indonesia melancarkan serangan gerilya di bawah pimpinan Jenderal Soedirman. Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada tanggal 22 Desember 1948. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam menghadapi Agresi Militer Belanda di Yogyakarta, ibu kota Indonesia pada saat itu. Mr. Sjarifuddin Prawiranegara ditunjuk sebagai ketua PDRI dengan maksud agar perlawanan terhadap Belanda tetap terkoordinasi.

Sementara itu, TNI telah keluar dari Kota Yogyakarta dan melakukan perang gerilya. Para penduduk juga telah diungsikan ke luar kota dan beberapa daerah penting di dalam kota dibumihanguskan. Dengan demikian, Belanda hanya mampu menguasai Kota Yogyakarta dalam keadaan kosong. Di luar kota, keadaan tetap dipegang oleh TNI beserta rakyat. Dengan dikuasainya Yogyakarta dan ditawannya pemimpin-pemimpin Indonesia, Belanda mengumumkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Tentu saja pengumuman Belanda ini membuat marah TNI dan rakyat.

Pada tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI dan rakyat melancarkan Serangan Umum 1 Maret. Mereka berhasil merebut dan menduduki kembali Kota Yogyakarta selama 6 jam. Keberhasilan ini mengagetkan banyak pihak, terutama di luar negeri. Ternyata, Republik Indonesia masih ada bahkan kembali menguasai ibu kotanya, yaitu Yogyakarta.
         
           Sebenarnya, agresi militer ini bagi Belanda tidak menguntungkan. Semua pihak, baik dari dalam maupun luar negeri mengecam tindakan Belanda ini. Dewan Keamanan PBB pun mulai membahasnya. Oleh karena tekanan politik dari negara lain dan perlawanan TNI yang dibantu rakyat sangat gencar, akhirnya pihak Belanda mau menerima perintah Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan agresi militernya.

0 komentar:

Posting Komentar